Friday, 2 November 2018

Sensasi kuliner Teppanyaki Ten Riyori - The Excelton Hotel Palembang

Memasuki akhir pekan pertama di bulan november ini. The Excelton Hotel Palembang, memperkenalkan kembali salah satu outlet terbaiknya yang berkonsep dan cita rasa authentic khas Jepang, Ten Ryori. 
 
Bagi anda pencita kuliner Jepang, Ten Ryori, yang berlokasi di lantai UL (Upper Lobby) ini menjadi satu - satunya restaurant Jepang di Kota Palembang yang menawarkan konsep private live cooking ala Teppanyaki yang tersedia di ruangan private dan sangat cocok untuk makan bersama keluarga, rekan bisnis, maupun kolega. 
 
 
Ten Ryori - The Excelton Hotel Palembang, menawarakan Teppanyaki dengan pilihan set menu yang lengkap di setiap paketnya, mulai dari pilihan menu daging(wagyu grade 9, U.S Beff Tenderloin, US beef Sirloin), pilihan seafood (Salmon, Gindara, Scallop, dsb), ayam, dan aneka sayuran, hingga makanan penutup. Selain hidangan ala Teppanyaki, anda juga dapat memesan pilihan menu khas jepag lainnya secara A la Carte mulai dari Sushi (Nigiri, Maki, Sashimi), Hidangan panggang atau Grilled (Robatayaki), pilihan Japanese Noddle (Sutamina Ramen , Shoyu Ramen, Misho Ramen, Seafood Ramen), dan berbagai pilihan menu jepang lainnya.
 
Sajian ala Tepanyaki di Ten Ryori - The Excelton Hotel Palembang ini dapat anda nikmati setiap harinya. Info dan reservasi (0711)416609 atau follow sosmed kami di @theexceltonhotelpalembang.
By. Markom Mgr - The Excelton Hotel Palembang.
Alan Yurullah (+6297897212290)

Monday, 2 July 2018

Jangan lupakan asal

Ada anak yg lupa kalo, dia tdk mungkin jadi seperti skrg tanpa ortunya
Ada cucu yg lupa kalo orang tuanya bisa sukses itu berkat kakek nenekny
Ada cucu yg bangga dgn harta ortunya, tapi lupa kalo itu sebagian warisan kakek neneknya. Ada cucu yg lupa, dia tdk mungkin hadir didunia tanpa campur tangan kakek dan nenekny
JANGAN LUPA ASAL. KASIHANI BELIAU YG MENUNGGU DIKAMPUNG AKAN KEHADIRANMU. MENANGIS MENGADU KESANA KEMARI RINDU DENGAN ANAK CUCU.
Tidakkah hatimu hampa menghabiskan harta, tapi melupakan asal usulmu sebenarnya. Mumpung masih diberikan kesempatan berbakti.

Wednesday, 20 June 2018

Kaum nyinyir

Sekumpulan kaum nyinyir
Saya tau ketika isi amplop thr saya di nyinyirin orang. Oh kok cuma segitu ya isinya, si A aja segini. Mulai deh membandingkan. Saya kasih tau ya, saya kerja keras buat keluarga saya. Itu utamanya. tapi ketika saya bisa memberikan rejeki saya ke orang lain segitu, saya anggap itu bonus dari Tuhan. Mengenai berapa banyak saya bisa kasih ke orang itu urusan saya dan hak pribadi saya. Dan yang jelas saya menyesuaikan dengan isi dompet saya artinya ya memang segitu kemampuan saya.
Saya gak akan kasih Anda anda semua dengan nilai yg fantastis agar supaya saya dapat pujian dari Anda Anda. No way. Saya gak haus pujian. Saya dapat pujian tapi sehabis itu saya ngutang kemana kemana? Sori yaa. Saya gak kayak kalian.
Mending saya kasih dikit tapi ikhlas, yaah walaupun masih tetap di katain 😑
Saya gak akan hidup dalam kepura puraan. Pura pura kaya, pura pura tajir, supaya dpt pujian sekampung, supaya dipandang orang, isi amplop thr buat dibagi tebal tapi habis itu mau beli tiket aja nggak sanggup, ngutang kemana2.
Yaah, jadi ya berusahalah untuk menahan diri untuk tidak nyinyir mengenai isi amplop orang, pemberian orang.
Kamu gak tau kan  gimana orang itu berusaha agar uangnya yg sedikit bisa cukup utk dibagi2? Kamu pikir yg dibagi kalian doang?
Udah ngasih aja di nyinyirin, apalagi nggak ya? Habis saya dikatain. 😌😌

Wednesday, 13 June 2018

Not Hiring Woman with Gaps

Hiring managers: if you are NOT HIRING WOMEN with gaps on their resumes due to child caring, you are making a big mistake. It is not the gap in their employment that is the problem, but the gap in your own judgment. 
1)    Gaps in resume do not mean gaps in talent, dedication, passion, loyalty. 
 2)    If a woman has an employment gap due to raising a child, that does not mean she has forgotten any of her skills. 
3)    Caring for a child is hard work, and should NOT be even counted as a gap at all – just like looking for work is hard work, too.
 4)    Women returning to workforce are very  loyal to their employers who hire them, - according to studies. 

 Shocker for some: these days more and more dads take career breaks to care for children. The above applies to these stay-home dads, as well. They have even harder time explaining their break to their employers. “I stayed at home to care for our two children” writes one dad. “When I tried to explain this to a recruiter, he asked ‘Don’t your children have a mother?’ I told him that raising children is the responsibility of both parents!” Please do not overlook resumes of people with gaps in employment.  The talent is a terrible thing to waste ! Agree ?

https://www.linkedin.com/feed/update/activity:6411997211210641408/

Monday, 4 June 2018

Gagal Fokus

Seorang Guru menuliskan ini di papan tulis : 
5 x 1 = 7 
5 x 2 = 10 
5 x 3 = 15 
 5 x 4 = 20 
5 x 5 = 25 
 5 x 6 = 30 
5 x 7 = 35 
 5 x 8 = 40 
5 x 9 = 45 
5 x 10 = 50 

Setelah selesai menulis dia balik melihat murid-muridnya yang mulai tertawa menyadari ada sesuatu yang salah. Pak gurupun bertanya : "Mengapa kalian tertawa?" Serentak mereka semua menjawab : "Yang nomor satu salaaaahhh Paaakk!" (tertawa bareng). Sejenak Pak guru menatap muridnya, tersenyum menjelaskan :
 "Saya memang sengaja menulis seperti itu agar kalian bisa belajar sesuatu dari ini. Saya ingin kalian tahu, bagaimana dunia ini memperlakukan kita. Kaliankan sudah melihat bahwa saya juga menuliskan hal yang benar sebanyak 9 kali, tapi tak ada satupun kalian yang memberi selamat. Kalian malah lebih cenderung menertawakan saya hanya untuk satu kesalahan. Hidup ini jarang sekali mengapresiasi hal-hal yang baik bahkan yang kita lakukan ribuan sekalipun. Hidup ini justru akan selalu mengkritisi kesalahan kita, bahkan sekecil apapun yang kita perbuat. Ketahuilah anak-anakku : "Orang lebih dikenal dari satu kesalahan yang ia perbuat, dibandingkan dengan seribu kebaikan yang ia lakukan". Semoga dari kesalah
an kita bisa memperbaiki diri lebih baik lagi.

Sunday, 20 May 2018

Jangan kaitkan teroris dengan Islam

Jangan Kaitkan Islam dengan Teroris

Kita tidak suka bila Islam dikaitkan dengan teroris. Tapi ingat, yang mengaitkannya adalah para teroris itu sendiri. Mereka justru ingin dilihat sebagai muslim. Mereka ingin dunia tahu bahwa yang mereka lakukan itu adalah ajaran Islam.

Jadi, kalau keberatan dengan pengaitan Islam dengan teroris, nyatakanlah keberatan itu kepada para teroris itu. Jangan kepada pihak lain. Jangan karang cerita bahwa pihak lain ingin menjelekkan citra Islam. Bagi para teroris tindakan mereka itu tidak jelek. Mereka bangga dengan itu.

Kenapa masih berfantasi ada pihak lain yang mengaitkan Islam dengan terorisme? Sudah jelas kok siapa yang mengaitkan. Alangkah kacaunya kalau ada teroris muslim, yang ingin menunjukkan bahwa aksi mereka itu sesuai ajaran Islam, tapi kemudian Yahudi dan Nasrani yang justru disalahkan. Kagak nyambung.

kang hasan

Wednesday, 9 May 2018

Hotel Brand Websites, OTA’s, Meta Search and Wholesalers: A Distribution Dilemma Within The Industry

Hotel Brand Websites, OTA’s, Meta Search and Wholesalers: A Distribution Dilemma Within The Industry

The TripAdvisor Inc. application is demonstrated on an Apple Inc. iPhone for a photograph in Washington, D.C., U.S., on Friday, May 5, 2017. TripAdvisor is scheduled to released earnings figures on May 9. Photographer: Andrew Harrer/Bloomberg via Getty Images
Photo Source: Andrew Harrer/Bloomberg via Getty Images
By Nick Cohen
The year is 2001, and the world is still recovering from the tragedy of September 11th.  The travel industry is in a downward spiral as fears of flying and terrorism ripple across the United States and beyond, and hotels have lost significant occupancy due to a decrease in demand.
Simultaneously, a fledgling technology is emerging which will eventually take advantage of the internet explosion, as well as hotel management’s desperation to fill rooms. It will reshape our industry forever, and this platform now commonly referred to as Online Travel Agencies, or OTAs, will allow hotels to easily sell their rooms on the internet through new consumer facing websites such as Expedia, Travelocity and Orbitz.
Fast forward to 2017. The OTA’s have gained the majority of market share for online reservations, and digital platforms like Booking.com and Ctrip.com have loyal member volumes that far surpass brand websites.  In many cases, the OTA companies are valued well beyond traditional hotel brands (as of May 2017, Priceline Group has a market capitalization of nearly USD 92 Billion).  They have also helped to create a new concept as they grew in popularity and scale over the last number of years, and it was the precedent of transparency. Pricing that was once hidden to the everyday user, could now be exposed to the whole world, publicly, with a few clicks online. As OTA channels grew enormously with time, so did the access to real time rates and availability for virtually every hotel around the world.
With this concept in mind, from the OTA’s we have seen the rapid expansion of ‘meta search’ channels. These are one-stop price comparison platforms where a customer can view a price for a single hotel room across multiple websites (without having to browse those websites one-by-one). Sites within this category include Kayak, Trivago, TripAdvisor, Qunar and Google, and they are all working to simplify the travel research process for consumers.
OTA
Featured above are some of the most popular meta search channels
With the OTA channels continuing to grow through massive marketing efforts and superior technology, and with meta search sites following their lead, a relatively new challenge has emerged for hoteliers. It represents a very complex dynamic between one of the most traditional ways to sell a hotel room, and one of the most modern ways to sell a hotel room. This once again all comes back to the concept of price transparency. Wholesale has been a core business driver in hotels for many years, helping properties build base business through private negotiated rates and partnerships. Historically, these wholesalers would sell their inventory offline to their own private networks of contacts. Even though the pricing would typically be lower than publicly available RACK rates, it was a reliable foundation of occupancy for hotels to build off of.
As technology has become more sophisticated with Application Programming Interfaces (APIs) readily available, we have seen the rapid growth of wholesale rates being sold publicly, online, through some of the powerful meta search channels mentioned above.  This means that wholesalers are selling discounted rates, which directly undercut brand websites and OTAs, to anyone who has access to the internet.  Beyond just meta search, some OTA websites are now even positioning themselves as ‘online marketplaces,’ where they too will sell wholesale inventory directly instead of the inventory provided by the hotels. To remain competitive and increase market share, online channels want to sell the lowest price possible, even if it means reducing their own margins by selling a cheaper room to the customer.
OTA Meta search
Meta Search Websites such as HotelsCombined (shown above) showcase wholesale aggregator sites like Amoma.com and HotelQuickly.com which have prices that undercut the brand’s direct website and other OTA channels
You would think that hoteliers would want to fix this problem immediately. Online wholesale business undercuts channels which are much more profitable such as their direct brand website.  This issue however is multi-layered and is not easy to remedy for the following key reasons:

Hotels still want wholesale business!

Hotels still maintain strong relationships with a number of wholesale partners, big and small, and they rely on these partnerships to generate base business. Turning off these channels would potentially mean the loss of significant revenues, at least in the short term.  Although wholesale channels can undercut other websites when sold online, they also still generate incremental business when sold offline through the traditional method

Finding the source of whole business online can be very difficult

When wholesale rates appears online, it’s generally very difficult to know which wholesaler specifically is providing that inventory. The wholesale partners themselves don’t generally sell rooms through their own websites, but sell their rates through wholesale aggregation channels such as Amoma.com.  It’s channels like Amoma who then sell the rates online through their own interface, and promote their rates through larger meta search intermediaries such as Trivago and TripAdvisor.  Generally the only way to find the true source is to make a test booking online, and then track how that reservation comes into the hotel’s central reservation system (each reservation is typically flagged with an inventory source).  Many hotels are reluctant to do this since a booking requires use of a credit card and sometimes even pre-payment, and then cancellation of that test booking is not always easy to do. The test booking process is both cumbersome to manage at scale, and is also financially risky for a hotel if those booking cannot be cancelled.

Room bookings can be made through Amoma.com and other wholesale aggregator websites by anyone online. However, the back end wholesale source for each booking from Amoma and other channels like it can be very challenging for a hotel to identify
Room bookings can be made through Amoma.com and other wholesale aggregator websites by anyone online. However, the back end wholesale source for each booking from Amoma and other channels like it can be very challenging for a hotel to identify.

Employee incentives are at stake

Within hotel sales departments, team members are still incentivized to drive wholesale volume, regardless of where that volume is being sold (offline or online). Wholesale partners generally don’t provide specifics on how they are selling their inventory, and as long as room allotments are sold, the responsible sales team members are satisfied. This is creating an unavoidable rift between the direction of some sales leaders with the revenue management and digital strategy teams.

So what’s next?

Hotel companies are dealing with this situation in a variety of ways. Some are cutting off wholesale altogether since they simply can’t control where their inventory is ending up. Others are maintaining the partnerships, but are working to move away from static room allotments and over to dynamic pricing and availability where the hotels have more control over the inventory they send to the wholesalers. This is a major problem facing the industry that very much remains unsolved.
If we take ourselves back to the 2001, price transparency was a challenge for hoteliers. Properties simply didn’t have direct access to a large enough segment of customers, therefore traditional partnerships like wholesale was an absolute necessity. With the growth of the OTAs though, and the emergence of new technologies such as meta search, that access is no longer an issue. The world is accessible for each hotel with a few quick key strokes on a computer. It is now only a matter of time until hoteliers make one of the following decisions:
  • Utilize wholesalers purely as another online distribution channel, selling rates that are parity with every other website (brand.com and OTAs)
  • Remove wholesale out of the channel mix altogether, realizing that room inventory can be be sold among the multitude of websites and digital platforms already available

Monday, 30 April 2018

Latar belakang Pendidikan

Sebenarnya, yang sepanjang waktu membawa misi terpenting & hasil pendidikan itu adalah kita pribadi, bukan institusi pendidikannya. Apapun latarbelakang akademik & apapun nama besar institusi pendidikan yang pernah kita nikmati, masyarakat melihat KITA-nya terlebih dahulu. 

Jika kita banyak berbuat baik bagi masyarakat, fokus penghargaannya adalah pada orangnya terlebih dahulu. Jika kita brengsek pun, kutukan lingkungan langsung tertuju pada kita, bukan pada sekolah / kuliahan yang pernah kita jalani. 

Maka, kalo sejak awal kita udah menilai orang berdasarkan akademiknya terlebih dahulu, hasil penilaiannya akan bias, karena akan muncul ekspektasi tertentu yang justru gak relevan dengan karakter asli orang itu. "Loh, kamu kan sekolah di A, seharusnya kamu pinter dong..." "Loh, kamu kan kuliah di B, seharusnya kamu bisa kerja dong..." Inilah bias yang fatal di dunia kerja, bisnis dan korporasi; khususnya dalam hal rekrutmen... Hanya sekitar 5-10% saja bidang2 pekerjaan yang membutuhkan nama baik alma mater tertentu.

 Selebihnya, sangat bergantung dari karakter, reputasi, kompetensi dan etika kerja yang kita miliki. Selalu jagalah nama baik keluarga, alma mater, dan perusahaan tempat kita bekerja; melalui pemikiran, kata2, perbuatan dan sumbangsih terbaik kita pada masyarakat.


Source : https://www.linkedin.com/feed/update/urn:li:activity:6396558552781152256

Tuesday, 24 April 2018

Boomerang employee

https://www.linkedin.com/feed/update/urn:li:activity:6392778839457656832

Wednesday, 18 April 2018

Diam

"perangai diam adalah lisan kebijaksanaan"

Hilm mungkin bisa juga saya artikan kesahajaan, kehati-hatian, bener gak?

Pelajarannya:
Tidak harus kita berkomentar dalam segala hal, karena segala hal mustahil kita ketahui semua.

Kapankah kita bilang : maaf, tidak tahu, saya salah dll terakhir kali?

khat: ust. motha Al Ubaidi

Assumption is a crime

Paling males ngeliat orang hobi asumsi dan menduga duga, terus disebarluaskan ke orang luar seolah olah itu benar dan nyata. Ingat yaa, asumsi atau menduga duga terkadang bisa mengarah ke fitnah, kasian kan kalo temen kita yang jadi korban asumsi.
Contoh:
A: Mbak, tau nggak si nganu itu kliatannya gak normal deh orientasi sex nya. 
B: Tau dari mana lo?
A: Ya taulah dari cara ngomongnya, dari pandangan matanya bla bla whatsoever, dan dia tuh kelihatannya sedang naksir si X loh.
B: Ah, masak sih?
A: ya taulah mbakk, temen temen saya tuh model nya gitu semua jadi tau si nganu tuh normal atau nggak

Itu baru satu kasus.
Syerem kan. Orang udah bisa narik kesimpulan dari hanya dugaan, dari kata KELIHATANNYA. Dan dia cerita kemana kemana dengan sedemikian rupa sehingga sampai akhirnya orang orang jadi percaya dan menanggap itu fakta.
Dan akhirnya si nganu itu dicap gak normal. Padahal dia normal senormalnya 😢. Kasian kan...
Stopp assuming,

Tunggu kasus ke 2
Mau ngetik tapi dongkol hahaha

Sunday, 8 April 2018

Jangan jualan ke orang terdekat 😢

Jack Ma CEO AliBaba.com - pernah berkata, “ketika berjualan ke teman dekat dan keluarga, berapapun yang Anda jual ke mereka, mereka akan selalu berpikir, Anda sedang mencari untung dari uang mereka. Dan semurah apapun Anda jual ke mereka, mereka tetap tidak menghargainya.”
Selalu ada saja orang-orang yang tidak peduli dengan biaya, waktu, dan tenaga Anda. Mereka lebih baik memilih ditipu oleh orang lain daripada membiarkan Anda mendapatkan hasil dari mereka, lalu mendukung seseorang yang mereka kenal. Karena di dalam hati mereka, mereka selalu berpikir berapa untung yang dia dapat dari saya? Bukannya berpikir berapa yang telah dia bantu hematkan atau bantu hasilkan untuk saya?
Ini adalah contoh klasik mental yang miskin!!
Sering ketika kita jualan kepada teman dekat, tapi mereka tidak menghargai , seperti itu jawabannya kata Jack Ma –> Mental Miskin .
Bagaimana caranya orang kaya menjadi kaya? Alasan utama adalah karena mereka bersedia mendukung bussines associate mereka, menjaga kepentingan satu sama lain, maka secara alami mereka mendapatkan lebih banyak lagi.
Teman-teman Anda akan secara bergantian mendukung Anda. Maka lingkaran kekayaan ini akan terus bertumbuh dan semakin bertumbuh.

Sederhananya, kamu akan mulai menjadi kaya ketika kamu memahaminya.
Jack Ma berkata, “ketika melakukan penjualan, orang pertama yang akan mempercayai Anda adalah orang asing. Teman Anda akan menutup diri dari Anda. Teman biasa akan menjauh dari Anda. Keluarga akan memandang rendah Anda.”
Ketika suatu saat Anda telah sukses, Anda akan membayar semua tagihan ketika makan malam bersama, entertainment, dan disitu Anda akan menyadari semua orang akan hadir, kecuali orang asing.
Apakah Anda sudah paham?
Kita perlu memperlakukan orang asing lebih baik lagi! Dan demikian juga kepada teman yang tahu apa yang Anda lakukan, tetapi tetap mendukung Anda.
Mari memperlakukan orang asing yang membeli dari kita lebih baik lagi mulai hari ini. Karena mereka adalah pelanggan terbaik Anda.
dicopy dari redaksi9dotblogspotdotcom

Monday, 2 April 2018

Ada nggak tempat kerja yang nyaman?

Menurut ngana sekalian, ada nggak sih tempat kerja yang nyaman dan enak yang sesuai dengan keinginan kita?
Mau tau pendapat saya? Menurut saya tidak ada tempat kerja yang 100% persen nyaman dan enak. Kalo ada yang bilang ada, bullshit sih menurut saya.
Banyak hal yang memicu ketidaknyaman disebuah tempat kerja. Yaah mulai dari faktor lingkungan kerja itu sendiri, faktor atasan, faktor rekan kerja kita yang mungkin kita ngerasanya kurang cocok, kemampuan kerja kita yang ternyata sangat berlebih untuk perusahaan sekelas itu(kibas rambut) dll.
Tapi tentunya sebagai orang dewasa dan pekerja yang profesional, selain kompetensi atau kemampuan, kita juga di tuntut untuk dapat mengendalikan sikap dan emosi (kematangan bersikap).
Yaa, yang terakhir itu tidak kalah penting menurut saya. Kematangan bersikap. 

Suatu ketika ada seorang staf kita yang tau tau pulang lebih awal, dan besok tidak masuk kerja tanpa info. Setelah ditelusuri, ternyata dia ada konflik dengan atasannya. Setelah saya WA saya tanya kenapa gak masuk dsb, dia jawab dengan santainya bahwa perasaannya masih gak nyaman and whatsoever.
Whatttt? Are you  kidding me? Langsung saya telpon staff bersangkutan karena saya gak puas dengan jawaban via wa.
Saya bilang, kok enak ya gara2 perasaannya masih gak enak gegara konflik dengan atasannya, jadinya bisa gak masuk tanpa info. Gara2 perasaanya yang masih tidak enak itu, satu department harus sibuk ngatur skejul lagi, harus mengorbankan skejul teman lain.
Saya juga mau dong kayak begitu, kalo habis dimarahin bos, besok mau libur aah, habiss perasaan saya masih gak enak sih.
Emang boleh ya gitu?
Bener bener tidak mature dengan posisi dilevel supervisor seperti itu.
Ketika kita tanda tangan kontrak kerja disuatu perusahaan, kita sudah tahu dan harus  dapat bertanggung jawab dengan segala isi kontrak dan tunduk pada peraturan perusahaan yang ada.

Di dunia kerja, sangat wajar bila terjadi konflik, baik itu sesama karyawan, karyawan atasan bahkan atasan dengan para BOD. 

Jadi jika kita menuntut tempat kerja yang super nyaman dan zero konflik, menurut saya nonsense. 
Biar perusahaan itu punya nenek kita sendiri pun, yang namanya konflik pasti ada dan macem macem. 

Sekarang tinggal gimana kita menyikapin masalah tersebut. Apa kita mau membesar besarkan masalah tersebut, apa kita mau menurutkan ego kita.

Sikap yang paling penting dalam mengatasi konlik khususnya dengan rekan kerja adalah memiliki sikap toleransi. Cara mengatasi masalah di tempat kerja yang paling tepat adalah dengan membesarkan sikap toleransi dalam diri anda.

Pahamilah bahwa setiap orang memiliki pribadi yang berbeda, ada diantara mereka yang memiliki kepribadian hampir sama dengan kita sehingga untuk menjalin hubungan yang baik pun akan sangat mudah.


Lain halnya dengan mereka yang memiliki kepribadian jauh berbeda dengan kita, maka besar kemungkinan untuk terjadi masalah pun lebih besar. Hanya bagaimana keduanya saling membesarkan sikap toleransi dalam diri masing-masing untuk mampu mengatasi masalah ini.

Saya aja kalo mau menurutkan ego , alangkah banyaknya saya bisa menciptakan musuh-musuh baru. Ada beberapa hal atau masalah yang saya bisa atasi dengan cara mengalah, tapi ada juga beberapa hal yang saya merasa perlu untuk sedikit adu argumen

Terus terang, saya juga masih dalam proses belajar mengendalikan emosi dan ego.
Sometimes bisa kelepasan, sometimes bisa ngalah(walau dalam hati gondok setengah mati) hehe, tapi demi kebaikan bersama kadang lebih  baik ngalah.

Jadi menurut Ngana sekalian, ada nggak tempat kerja yang nyaman?



Wednesday, 7 February 2018

Paket Valentine dan Tahun Baru Imlek di The Excelton February 2018

Bagi anda yang ingin menghabiskan hari kasih sayang bersama orang terkasih yang jatuh pada 14 Februari mendatang,  dapat menghabiskan malam romantis anda dengan candle light dinner hanya berdua pasangan anda di Sky lounge lantai 10 The Excelton Hotel Palembang.
Lince Director Of Sales didampingin Hardiansyah Gumay Marcom Manager The Excelton Hotel Palembang mengatakan, nantinya suasana di sky lounge ini akan di buat seromantis mungkin dengan dekor penuh bunga dan lambang cinta. Tak hanya itu live musik akustik serta berbagai macam menu akan memanjakan lidah para pasangan ini seperti menu western food, antara lain salmon trico, baby lobster dan menu dessert lainnya yang tentunya dapat dinikmati pasangan yang sedang merayakan Valentine atau hari kasih sayang ini.


“Untuk paketan Canddle light dinner di sky lounge kita tawarkan dengan harga Rp759.800 net per pasangan. Pasangan yang minat bisa tinggal datang dan menikmati malam romantis ini,”kata Umay, begitu akrab disapa.
Tapi bagi yang ingin menikmati malam Valentine bersama keluarga dan teman teman, bisa juga menikmati Valentine’s  day buffet dinner di Perfecto Cafe hanya Rp. 220.000 per orang sudah net.
Selain promo Valentine kata Umay, pihaknya juga masih menawarkan promo imlek atau tahun baru Cina pada 15 Februari malam yakni Buffet Dinner di Diamante Grand Ballroom.
“Harga yang kita tawarkan untuk paket Buffet Dinner ini kita tawarkan seharga Rp 268.000 per orang sudah net. Menu yang dihadirkan sesuai dengan tema Imlek ada barongsai, live musik ,”tambah Umay.
Dan bagi anda yang minat bisa datang dan bisa pesan dari sekarang. Apalagi untuk Canddle light Dinner ini hanya terbatas untuk 8 pasangan saja.
Sedangkan untuk buffet dinner tahun baru Imlek ditargetkan 300 orang untuk 30 meja. “Jadi buruan ya pesan dari sekarang juga bisa datang langsung ke hotel atau bisa pesan ke 0711 416609,”katanya. (Ofie by-Pena Sumatra)

Saturday, 3 February 2018

From linkedin

https://www.linkedin.com/feed/update/urn:li:activity:6364947555297607680

Tuesday, 30 January 2018

Mimpi ketemu Pak Jokowi

Semalem mimpi ketemu Pak Jokowi. Jadi ceritanya aku nekat coba nelp Pak Jokowi, ternyata diangkat sama beliau. Terus saya bilang. Pak kalo ke Palembang mampir dong ke rumah saya. Dan ternyata ketika Pak Jokowi ke Palembanh, dia beneran mampir ke rumah. Padahal dalam mimpi saya tuh jalanan rumah saya tuh becek, dan kotor. Terus saya senengggg banget sampe photo2 terus sama Beliau. Tapi beliau gak marah. Cuma paspampresnya aja yg misuh2 xixixi. Kayak nyataaaaa banget. Ya Allah pengen banget duduk bareng sm Pak Jokowi ngobrol soal bangsa ini dll. Apa ini masih effect The Excelton diinepin sama Beliau yaaa jadi sampe ke bawa mimpi hihiji. Mudah2an next visit dia ke Excelton lagi nginepnya.
I love u full Pak Jokowi. My president. 2 periode

Tuesday, 16 January 2018

Partai Anti Islam

Di Jatim Mereka Gagal

Ceritanya mau bikin gerakan menggembosi partai anti-Islam. Emang ada gitu partai anti-Islam? Kagak. Itu pan suka-sukanya mereka aja. Prinsip mereka, aku adalah Islam. Jadi, apapun kehendakku adalah kehendak Islam. Siapapun yang kumusuhi, itu adalah musuh Islam.

Jadi ceritanya, mereka bikin definisi bahwa partai-partai penolak UU Ormas adalah pendukung Islam. Tentu saja kita harus berpikir sambil ngeden dengan keras, bagaimana ceritanya Gerindra itu bisa disebut pendukung Islam. Pokoknya gitu deh.

Skenarionya, jangan dukung calon yang didukung oleh partai-partai anti-Islam. Artinya, dukunglah calon yang didukung oleh PKS, PAN, dan Gerindra.

Eh, ternyata ketiga partai itu gagal mendapat calon sendiri. PKS dan Gerindra bergabung mendukung Gus Ipul, yang juga didukung oleh PDIP. Ini partai yang selama ini mereka tuduh anti Islam, bahkan PKI. Kok malah PKS bergabung ke situ?

Ya itulah politik. Khususnya politik Indonesia, yang ideologinya adalah kekuasaan. Pokoknya menang.

Orang-orang ini pun sadar, mereka juga berpilitik kok. Cuma mereka tidak dari partai. Mereka sadar realitas politik itu. Mereka membangun jargon itu untuk membodohi orang-orang. Siapa? Yang bodoh dan mau dibodohi.

HASAN ABDURAHMAN