Wednesday, 13 July 2016

Hijab Syar'i

Hijab Syar'i
Istilah hijab syar'i sebenarnya sebuah istilah yang rancu. Hijab adalah pakaian wanita sesuai tuntunan syariat Islam. Kalau sesuatu disebut hijab, maka ia sudah sesuai ketentuan syar'i. Jadi tidak perlu ditambahi lagi dengan kata sifat syar'i. Adapun sesuatu yang tidak sesuai kaidah, bukanlah hijab.
Kesalahan istilah ini bermula dari salah persepsi. Banyak orang menganggap selembar kain penutup kepala itulah hijab. Kain itu sebenarnya disebut khimar. Memakai khimar tidak sama dengan berhijab. Nah, kalau mau diberi embel-embel syar'i, khimar lebih cocok. Ada pemakaian khimar sesuai syar'i ada yang tidak.
Bagaimana ketentuan hijab menurut syariat? Pertama, ia menutupi seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Ini definsi yang sangat jamak dipakai. Tapi itu saja belum cukup. Syarat lain, tidak boleh ketat hingga menampakkan lekuk-lekuk tubuh, termasuk tonjolan buah dada. Pemakaian khimar tujuannya bukan sekedar menutupi kepala, tapi juga agar terjulur ke bawah menutupi dada. Tentu saja pakaian tidak boleh tipis menerawang. Terakhir, tidak boleh menyerupai laki-laki. Begitu ketentuan yang sering disampaikan para ulama.


Nah, apakah pakaian muslimah di sekitar kita sudah sesuai ketentuan itu? Terus terang, saya jaran melihat yang sesuai. Hampir 100% masih terlihat punggung tangannya. Itu sudah salah. Kemudian tidak sedikit yang terlihat sampai ke lengan dan betis. Sangat banyak pula yang ketat. Salah kaprah yang umum adalah mengira khimar itu hanya untuk menutup kepala atau rambut. Maka banyak yang bakai khimar yang ujungnya dililitkan ke leher, tidak menutupi dada. Buah dada bertonjolan jadinya. Kemudian pakai pula celana ketat, hingga tidak hanya pantat yang jelas kelihatan lekuknya, tapi juga tonjolan di daerah kemaluan. Imi semua salah kaprah.
Lho, kok jadi nyinyir ngurusin baju orang? Bukan, ini bicara soal bagaimana seharusnya kalau syariat dijadikan standar. Artinya apa? Artinya, banyak orang yang mengaku atau merasa sedang menjalankan syariat, tapi sebenarnya tidak. Baik karena dia tidak tahu, atau karena merasa bahwa yang sesuai ketentuan syariat secara penuh itu merepotkan.
Ya, kita jujur saja, kalau mau dipenuhi 100% akan repot benar. Bagaimana menutupi punggung tangan? Pakai sarung tangan? Wanita-wanita Arab biasanya menempatkan tangannya di balik khimar, sehingga punggung tangan yang tidak tertutupi oleh lengan baju terlindung di situ. Tapi kan repot jadinya? Ya, memang. Karena itulah di Arab Saudi gerak wanita di ruang publik dibatasi.
Kita bisa bayangkan betapa sulit bahkan mustahilnya bagi wanita untuk melakukan hal-hal yang biasa kita lihat dilakukan oleh wanita dalam kehidupan sehari-hari kalau mereka berhijab, dalam pengertian 100% sesuai ketentuan tadi. Mau naik turun kendaraan saja sudah sulit. Bekerja hampir mustahil kalau tempat kerjanya tidak diset khusus untuk perempuan.
Tak heran bila kemudian banyak yang menuduh bahwa ketentuan pakaian ini sebenarnya adalah alat pengekang agar wanita tidak keluar rumah. Tuduhan ini dibantah. Tapi kalau kita ikuti alur logika tadi, memang begitulah adanya.
Bagaimana kita memaknai fakta ini? Kita hidup di abad 21, dengan sejumlah orang yang mencoba menerapkan ketentuan-ketentuan yang diperkenalkan pada abad ke 7. Kita hidup di berbagai belahan dunia dengan aneka ragam budaya, dengan sejumlah orang yang mencoba menerapkan aturan-aturan yang diperkenalkan kepada masyarakat Arab abad ke 7. Benturan itulah yang terjadi dan kita saksikan.
Dalam benturan-benturan itu terjadilah koompromi dalam berbagai bentuk. Ada yang kompromi, punggung tangan boleh terlihat. Ada yang mentolerir lengan terlihat. Begitu seterusnya. Dengan berbagai kompromi itu orang masih percaya diri bahwa dia sedang melaksanakan syariat. Apa iya? Embuh.
Syariat compang camping seperti itu adalah wajah Islam saat ini. Sudah berulang kali saya tulis, orang mengaku anti riba, tapi memakai uang kertas (uang nominal, fiat money), yang jelas-jelas adalah produk riba.
Tapi kan itu darurat? Bukan. Darurat itu sifatnya sementara, yang ini tidak. Orang Islam secara natural akan digiring untuk menjauh dari syariat. Bukan karena ada usaha sistematis oleh orang-orang yang membenci Islam. Bukan. Bukan itu. Semata karena kita memang sudah sangat jauh dari Arab abad ke 7, dan akan semakin menjauh.
Lalu bagaimana? Saya orang sekuler. Saya tidak punya niat untuk menjalankan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Saya hanya tertarik untuk menjadikan Quran dan Islam sebagai referensi moral untuk menegakkan nilai-nilai universal, seperti keadilan dan kemanusiaan. Selebihnya saya hidup sesuai tuntunan akal saya.
Yang merasa wajib menjalankan syariat, silakan. Yang penting Anda sadar bahwa yang Anda sebut syariat itu wujudnya compang camping, sehingga pada titik tertentu sudah sulit untuk disebut sebagai syariat.

https://www.facebook.com/hasanudin.abdurakhman/posts/10209614497900056
gambar dari google

No comments:

Post a Comment