Saturday, 30 July 2016

surat buat suamiku

hihi..jadi ceritanya beberapa malem lalu.. aku capek banget.kerjaan banyak di kantor so jadinya pengen cepet2 rebahan.sesudah berjibaku dengan bocah bocah ajaib kita yaitu Dzaki and the gank, so aku langsung memutuskan untuk tidur cepat.lagian juga besok tuh hari Kamis niatnya mau puasa. naaa... terus tetiba aku baru inget kalo kita tuh sudah beberapa hari nggak making love xixixi... sori yaa artikel ini 17 tahun ke atas. dan feeling aku, pasti ni laki bakal ngajakin malem ini. naa kebiasaan laki ni kalo mau making love adalah bangunin aku pas lagi tidur nyenyak2nya di malem hari(dia tidurnya suka malem banget soalnya)..kadang gondokkk banget...gimana nggak gondok orang lagi tidur tidurin di bangunan ups itu sih kata warkop dki xixixi
tapi kadang aku juga nggak bisa nolak ... takut dosa hahaha
naaa...karena was was takut di "bangunin" malem ini, so aku langsung mikir ni..gimana caranyaa...dan akhirnya taraaa aku buatlah tulisan di bawah ini.
dan Alhamdulillah berhasil. tapi nggak tau juga sih apa emang gegara tulisan itu atau sebenernya dia juga emang lagi nggak pengen hihi...

Azan memakai speaker

Menciptakan, lalu Memuja Simbol

Apa hukumnya azan memakai speaker? Mubah saja. Tidak lebih dari itu. Tidak ada anjuran khusus agar orang memakainya. Azan memakai speaker dilakukan dengan pertimbangan agar lebih banyak orang mendengarnya.

Apakah kalau lebih banyak yang mendengar akan lebih banyak yang salat? Tidak juga. Tidak significant. Orang yang memang berniat salat (berjamaah) akan hadir di mesjid sebelum azan berkumandang.

Perlukah salat memakai speaker sampai suara bacaan terdengar hingga ke luar mesjid? Tidak. Tidak pernah ada ajaran nabi yang menganjurkan seperti itu. Untuk mesjid beukuran besar yang diperlukan hanyalah speaker di dalam ruangan untuk memastikan agar semua jamaah mendenga bacaan imam. Speaker yang mengumandangkan suara keluar hingga jauh tidak diperlukan.

Dalam hal doa dan zikir malah ada larangan untuk mengeraskan suara. "Kau tidak menyeru kepada Zat yang tuli. Maka pelankanlah suaramu."

Adakah ajaran untuk melakukan takbir keliling? Tidak. Yang disunnahkan adalah membaca takbir pada malam sebelum hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, ditambah hari-hari tasyrik. Bagaimana caranya? Sama seperti wirid sehabis salat.

Takbir keliling adalah kegiatan yang diciptakan kemudian. Ia bukan syariat Islam, melainkan sekedar sebuah kebiasaan belaka, seperti lomba lari karung 17 Agustus. Azan dengan speaker juga begitu.

Apa yang terjadi kalau azan pakai speaker dilarang? Atau, kalau takbir keliling dilarang? Orang Islam marah. Katanya itu melarang peribadatan. Padahal azan dan memakai speaker itu 2 hal yang berbeda. Demikian pula dengan takbir dan keliling. Azan dan takbir, itu syariat Islam. Melarang orang melakukannya berarti melarang orang beibadah. Adapun memakai speaker dan keliling tidak ada sangkut pautnya dengan ibadah. Jadi kalau mau dilarang, boeh saja.

Di Arab Saudi hanya mesjid tertentu yang dibolehkan memakai speaker untuk azan. Penggunaan speaker luar untuk menyiarkan bacaan salat juga dilarang. Hal yang sama diterapkan juga di beberapa bagian di Mesir dan Pakistan. Setahu saya di Saudi juga tidak ada takbir keliling.

Kakau orang marah ketika azan dengan speaker dilarang, apakah ini soal ajaran Islam? Tidak. Ini justru sebaliknya, soal kebodohan tentang ajaran Islam. Orang-orang bodoh yang tak paham dengan ajaran Islam, memuja simbol-simbol buatan, yang mereka kira ajaran Islam.

Tentu juga tak ada yang berniat melarang azan pakai speaker. Hanya diperlukan sikap tenggang rasa agar hal ini tidak menimbulkan gangguan. Tapi tenggang rasa itu menjadi sangat mahal. Karena ajaran Islam? Bukan. Karena ego sejumlah orang bodoh yang tidak kenal ajaran Islam.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209768401467549&id=1256756257

Saturday, 23 July 2016

punya mobil gak punya tempat parkir

paling kesel sama orang yang punya mobil 2 tapi tempat parkir 1...
satu di garasi satu makan badan jalan(setiap hari parkir di jalan mobil yang satunya). ganti gantian sih kadang yang putih di luar kadang yang item yg di luar.
di kira orang nggak terganggu apa. dan saya nggak tau apa hukumnya dalam Islam..yang jelas kalo udah memakai seenak enaknya jalan umum untuk kepentingan pribadi saya pikir sudah salah banget.its not that i am jealous or envy ... tapi saya dan orang-orang lain pemakai jalan merasa kesel...terus terang tiap lewat keselll banget..
ni yang punya mobil kebeneran tetangga sendiri. selang beberapa rumah dari rumah saya. kalau saya jadi Pak RT pasti saya tegur dan saya suruh cari solusi untuk mobil satunya, supaya tidak memakai jalan yang peruntukannya untuk umum.
udah gitu aja.... gak tahu lagi mau nulis apa

salam,
wita

Thursday, 21 July 2016

About recruiter

Suka ni sama tulisan Bapak ini di Linkedin. Setujuu....

Mohan Dutt Pant I'm a recruiter. But I don't judge my candidates based on their length of employment on each company they worked with. Candidates seem like job hoppers if they frequently change jobs, but I see them beyond being job hoppers. Each employment have their own stories. Each candidates have their own passion and strength. You will never know what will happen on your job until you're in it every day. I'm happy to hire a candidate as long as he performed excellently in interview. I believe each new joiner will bring a new change in company. I am Gen-Y and I hate traditional recruitment mind-set

Thursday, 14 July 2016

Terkadang reuni menjadi ajang Pamer (is that true?)

reuni/re·u·ni/ /réuni/ n pertemuan kembali (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dan sebagainya) setelah berpisah cukup lama:
Nah itu arti reuni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Munculnya jejaring sosial seperti Friendster(udah gak musim lagi yaa hehe), Facebook atau Twitter makin mempermudah kita untuk menyambung tali silaturahmi dengan teman bahkan saudara yang tidak jumpa selama belasan atau puluhan tahun. Pertemuan di dunia maya belum cukup untuk memuaskan rasa rindu maka di adakanlah ajang kopi darat.
Kebanyakan ajang reuni di ambil ketika bulan Ramadhan(buka bersama bareng) atau setelah Idul fitri(halal bihalal).
 Saya sendiri juga mengalaminya loh. Saya bisa berkomunikasi dan bersilahturahmi lagi dengan teman-teman masa SD, SMP, SMA dan kuliah, bahkan reuni tempat kerja pertama, kedua, ketiga dsb dari jejaring sosial ini. malah mantan pacar pun bisa ketemu di Facebook hahaha...

Terus terang, Ph1ll1ps terang terus lohh iklann haha.... terus terang saya ketika pertama kali ada undangan untuk Reuni, saya merasa minder sekali. apalagi Reuni SD hihihi,
Flashback dulu yaa ke masa SD. Dari dulu sampai sekarang SD saya itu terkenal sebagai sekolah yang Hits dan mihil xixixi. Tapi emang sekolah saya itu banyak sekali fasilitasnya dan termasuk sekolah yang berprestasi. Dari anak pejabat anu, pengusaha x, pokoknya orang-orang berduit, menjadi teman saya waktu di SD tersebut. Saya aja kalau punya uang sebenernya pengen anak-anak saya sekolah di situ, tapi apalah daya, uangnya gak cukup hiks hiks, mudah-mudahan yang punya sekolah baca blog saya dan saya di kasih gratis untuk anak-anak saya. ngareppp hihihi.
Dan saya hiks hiks.. apalah saya ini, saya bisa sekolah disitu karena ayah saya menjadi salah pengajar di Yayasan itu. Ayah saya pernah menjadi Kepala Sekolah dan Guru di SMA nya.
Jadi ceritanya kalau anak karyawan, bisa dapet diskon begitu hehehe. kalau nggak, mungkin saya sudah di sekolahin di negeri aja yang mursidah hehehe.

Naah dulu itu kalau mau main ke rumah temen, saya tuh pasti berdecak kagum. cak cak cak cak gitu xixixix... soalnya ruman teman-teman saya gede gede banget dan bagus-bagus. ada yang luasnya 3 kali lapangan bola, ada yang mobil anter jemputnya Jeep Mercy( untung ane pernah di ajakin naek mobilnya xixix, jaman dulu loh yaaa tahun 90an), ada rumah yang tingginya mau ngalahin Burj Khalifah( nah ini bohong banget)pokoknya macem-macemlah . Tapi syukurlah semua teman di SD itu baik baik semua. kadang kalau saya nggak punya uang untuk jajan, ada beberapa temen yang suka jajanin saya. ada yang namanya Ria, Lady, Adhen..wah baik baik deh. kayaknya ngerti banget temennya ini kere hihihi. ada juga yang suka ngajakin renang. waktu itu beberapa kali di ajak ke Hotel Sandjaja. ini namanya Ira nih yang suka ngajakin  renang. Bagi saya berenang di Hotel itu sesuatu yang mewaahhhhh banget. Apalagi ini di Hotel Sandjaya yang pada jamannya cuma dia yang ngetop. Sambil berenang sambil makan pempek. waduh rasa pempeknya enakk banget, secara pempek mahal hahha  kita kan biasa makan pempek sepeda xixixix. jadi rasanya beda bangettt.

Nahh, balik lagi ke soal reuni, jadi ceritanya teman-teman SD ini buat grup BBM(jaman dulu masih BBM yang hits, belum WA), and buat planning untuk reuni kecil-kecilan. Waduh kebayang duong betapa cemasnya saya karena terus terang saya nggak pede dan minder sekaliii.. Ketemu temen-temen SD yang dulu terkenal tajir-tajir, hiks hiks... tapi ya sudahlah demi menyambung tali silaturahmi dan pengen liat muka-muka temen SD sekarang kayak gimana jadi di kuat-kuatin ajah.
Ternyata, setelah kita ketemuan , everything was sooo fine. Temen-temen saya nggak ada tuh yang sok pamer atau sombong(kalau saya analisa..cieee, ini di karenakan mereka emang  dari bayi, dari lahir bahkan ada yang dari kakek buyutnya udah kaya jadi emang gak ada lagi yang perlu di sombongkan atau di pamerin). serius ini loh. Jadi apa yang mau dia pamerin kalau dari bayi dia udah punya semua.
Dan reuni berakhir dengan bahagia.

Tujuan dari sebuah reuni adalah untuk mengenang betapa bahagianya ketika kita masih bersekolah, mengenang masa bahagia ketika kita ketahuan mencontek, bolos, bahagia ketika kita naksir dengan teman sekelas atau kakak kelas, tawuran, dan masih banyak lagi.
Disinilah tujuan utama dari sebuah reuni, untuk mengenang masa lalu dan melepas rasa kangen terhadap teman maupun sahabat kita. Eh tapi tahu nggak jika reuni melepas rasa kangen dan mengenang masa bahagia disaat masih sekolah dapat meringankan stress hampir 70%.

Sebuah penelitian juga pernah mengungkap manfaat dari kegiatan kumpul-kumpul bersama teman di ajang reuni. Ternyata kegiatan santai ini juga bisa membuat umur panjang. Sebuah penelitian bahkan pernah menemukan bahwa seseorang yang banyak dikelilingi teman dan saudara kemungkinannya meninggal lebih cepat berkurang 50 persen dibandingkan mereka yang tidak memiliki kehidupan sosial.
Walaupun  ada beberapa oknum yang menjadikan ajang reuni menjadi ajang pamer. Kalau saya terus terang gak ada yang bisa di pamerin. serius loh. rumah butut, status masih karyawan hihihi. Kalau kata orang Palembang: maseh menangkamu tuh lah pokoknyo...

Tulisan Italic Bold di bawah ini saya ambil dari :
http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
karena pas banget dengan tema yang saya tulis di blog, dan memang mewakili perasaan hihihi.

Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ? apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ? anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja, basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan. Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder.
Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu.


Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai.

Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu, kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Selebihnya, tak penting lagi.

Tentu saja kami mengerti perasaanmu, perasaan tidak setara dihadapan teman-teman yang lain. Tapi ingat, engkau tidak mengetahui apa yang telah kami lalui dalam puluhan tahun hidup kami. Dan jika engkau menganggap kami berhasil, kami merasa bersyukur. Namun engkau juga harus tahu, bahwa ukuran keberhasilan dan kebahagiaan kami, bukan semata-mata sebanyak apa harta yang kami miliki. Kami hanya ingin berteman denganmu, selamanya  


 
 okay, sekian untuk hari ini. Tetap semangat untuk reunian yaaa hihihi. Jangan minder.... sering sering liat saya kalo minder xixixi ..gak ada hubungannya keleuss....

Gambar dari Google yaaa....


Salam,

Wita











Booming Facebook, Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya !

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook, Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya !

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook, Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya !

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Terbaru Headline Rubrik Event Topik Pilihan PRO KONTRA Masuk HEADLINE PILIHAN Tak Kuhadiri Reuni, Sebab Aku Miskin 16 Juli 2013 06:54:27 Diperbarui: 24 Juni 2015 10:29:45 Dibaca : 284,773 Komentar : 159 Nilai : 142 Tak Kuhadiri Reuni, Sebab Aku Miskin 1373942049286543285 Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com/JITET) Booming Facebook, Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya ! Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni, sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu bisa kita hadiri karena berbagai alasan. Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni : perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya .. Tak menghadiri reuni sebab miskin Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku. Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku itu Fahmi. Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum sudah lama tidak bertemu. Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama " Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin " Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih. Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan kalimatnya. “ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “ “ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh. Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang. Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ... Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ? apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ? anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja, basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan. Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder. Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis : HARTA) Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh dari kesan hedonik. Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap , juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar area reuni. Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit, jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti. Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah, menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani, tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik. Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya. Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu, pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ? Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi, hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ? mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi, saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni karena miskin. Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap orang-orang yang kesusahan. Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang sifatnya sementara. Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai. Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu, kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi. 1373932246177297608 1373932246177297608 freewebs.com Salam sayang, Anni bu anni /pujinurani TERVERIFIKASI Semua artikel saya di Kompasiana dan tulisan saya lainnya, saya simpan di http://dengarlahnuranimu.blogspot.com/ Selengkapnya... IKUTI Share 29207 0 2 KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS. LABEL freez urban lifestyle TANGGAPI DENGAN ARTIKEL RESPONS : 0 NILAI : 142 Beri Nilai Oma Eni Menarik Boris Toka Pelawi (Bang bo) Inspiratif herman daulay Menarik Kresno Agus Hendarto Inspiratif Kartika Eka H. Menarik Oktavianus Inspiratif http://sejarawan.id Menarik Ida Lumangge S Menarik Selanjutnya KOMENTAR : 159 Boris Toka Pelawi (Bang bo)14 Juli 2016 07:59:46 semoga kita nggak jadi golongan pak fami ya.dalam arti kita semua sukses tapi tidak membangga banggakan harta dan pencapaian kita.semoga kehidupan sahabat ibu bisa jadi lebih baik.salam Balas Hummus14 Juli 2016 08:49:32 dalam realitanya walau si sukses dan si kaya tidak membanggakan diri, tapi dlm percakapan akan muncul dengan sendirinya status masing-masing (bisa ttg olah raga, hoby, profesi, anak dsb), sehingga si non sukses dan non kaya akan terdiam atau mencari kelompok yg sekelas dengan dia. Itu kalau ada.... Balas Dede Solihin14 Juli 2016 08:20:20 kadang memang seperti itu keadaannya, tapi kalau kita belajar dan merenung lebih dalam ini bersumber dari rasa percaya diri yang kurang atau merasa citra diri tidak bagus. Menurut Ilmu NLP (neuro linguistic programing) hal ini merupakan tanda-tanda dalam diri seseorang terdapat mental block. Untuk itu perlu dikikis melalui penanaman sugesti ke dalam diri. Mau kaya harus punya pikiran kaya. Jadi ingat kenapa kita harus selalu berpikir positif atau ber-husnuzhon karena ini merupakan pangkal dari suatu keberhasilan. Mohon maaf, ini juga " mungkin" yang menyebabkan saudaranya masih belum atau tidak berhasil karena di dalamnya masih banyak mental block. trim Balas Hummus13 Juli 2016 15:20:20 yg namanya reuni alamiahnya memang seperti itu. Acara yg bisa mengaburkan status sosial, penampilan dsb nya itu hanya pesta topeng, tapi itu jarang diadakan Balas Ida Lumangge S13 Juli 2016 14:17:47 Aktual, terkadang reuni menjadi ajang pamer. Balas Amalia Tri Agustini29 Mei 2015 00:06:46 kenapa artikel 2013 kembali tayang? apa ada kejadian khusus dibalik pemuatan kembali artkl ini? Hemat saya : mmg harus ada yg berpihak di sisi golongan spt Fahmi. Bagaimanapun gol itu ada... dan luka/sedih itu ada...real. Dengan ada yg berpihak di dua sisi, kehidupan ini jadi berimbang. Begitu.... Balas Syifa Ann17 Juni 2016 06:49:21 Ini google trand mbak. Cara kerjanya mesin memilih artikel2 yg punya share paling banyak di medsos dan otomatis naik tayang (lagi) di kanal google trand :) Balas Eka Siswanto Pratama13 Juli 2015 09:39:48 Kenyataannya mmg seperti itu.. :) Balas Otoko Mae10 Juli 2015 20:53:27 Aku pernah baca ini Balas Amalia Tri Agustini28 Mei 2015 21:45:15 kenapa artikel 2013 kembali tayang? apa ada kejadian khusus dibalik pemuatan kembali artkl ini? Hemat saya : mmg harus ada yg berpihak di sisi golongan spt Fahmi. Bagaimanapun gol itu ada... dan luka/sedih itu ada...real. Dengan ada yg berpihak di dua sisi, kehidupan ini jadi berimbang. Begitu.... Balas Amalia Tri Agustini28 Mei 2015 21:47:52 kenapa artikel 2013 kembali tayang? apa ada kejadian khusus dibalik pemuatan kembali artkl ini? Hemat saya : mmg harus ada yg berpihak di sisi golongan spt Fahmi. Bagaimanapun gol itu ada... dan luka/sedih itu ada...real. Dengan ada yg berpihak di dua sisi, kehidupan ini jadi berimbang. Begitu.... Balas Amalia Tri Agustini28 Mei 2015 21:58:50 kenapa artikel 2013 kembali tayang? apa ada kejadian khusus dibalik pemuatan kembali artkl ini? Hemat saya : mmg harus ada yg berpihak di sisi golongan spt Fahmi. Bagaimanapun gol itu ada... dan luka/sedih itu ada...real. Dengan ada yg berpihak di dua sisi, kehidupan ini jadi berimbang. Begitu.... Balas Selanjutnya Featured Article Belajar Bahasa Inggris Lewat Video Game Hendra Makgawinata 06 Agustus Headline 1 Pejabat dan Rasa Takut Hilang Kekuasaan Ronny Noor 14 Juli 2016 2 MOS Dilarang, Kabar Baik atau Bencana? Rusyd Al Falasifah 13 Juli 2016 3 Inilah yang Selalu Salah di Mata Jakarta Syifa Ann 12 Juli 2016 4 Penyiksaan di Sepanjang Jalan Tol, Catatan Kecil Sugiyanto Hadi Prayitno 13 Juli 2016 5 Fast 8, Lucas Black Gantikan Paul Walker? Waldy 14 Juli 2016 Nilai Tertinggi Sisi Positif dan Negatif Pokémon GO Ikhwanul Halim 14 Juli Doa dan Petuah Dua Wanita Super D'kils Difa 14 Juli Hamburg: Notes Tisu Membawaku Terbang Tinggi kazimi yu 14 Juli Begini Tampang Pembunuh Sadis "Si Cepat Keluar" & " Si Kingkong Bau" Sayeed Kalba Kaif 14 Juli Pejabat dan Rasa Takut Hilang Kekuasaan Ronny Noor 14 Juli Terpopuler Begini Tampang Pembunuh Sadis "Si Cepat Keluar" & " Si Kingkong Bau" Sayeed Kalba Kaif 14 Juli Menkumham Yasonna Laoly, Menteri Terburuk di Kabinet Jokowi Daniel H.T. 14 Juli Ahok Cengeng, Fadli Zon Berang, dan Carlsen Tumbang! Hulk2000 14 Juli Terobesi Terus Mengkritik? Jangan Dianggap Sepele TJIPTADINATA EFFENDI 13 Juli Fast 8, Lucas Black Gantikan Paul Walker? Waldy 14 Juli Tren di Google Tak Kuhadiri Reuni, Sebab Aku Miskin bu anni 16 Juli 2013 Apa sih Tax Amnesty? Reni Indah 27 April 2015 Ahok Cengeng, Fadli Zon Berang, dan Carlsen Tumbang! Hulk2000 14 Juli 2016 SMA dan SMK Batal Dikelola Pemerintah Provinsi? IDRIS APANDI 13 Juli 2016 Menkumham Yasonna Laoly, Menteri Terburuk di Kabinet Jokowi Daniel H.T. 14 Juli 2016 Gres Hal yang Perlu Diperhatikan Pra dan Pasca Operasi Gigi christinarw 13 Juli Narasi Separuh Jalan Rina Tri Sulistyoningrum
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook, Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya ! Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni, sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu bisa kita hadiri karena berbagai alasan. Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni : perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya .. Tak menghadiri reuni sebab miskin Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku. Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku itu Fahmi. Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum sudah lama tidak bertemu. Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama " Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin " Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih. Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan kalimatnya. “ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “ “ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh. Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang. Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ... Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ? apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ? anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja, basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan. Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder. Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis : HARTA) Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh dari kesan hedonik. Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap , juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar area reuni. Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit, jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti. Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah, menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani, tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik. Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya. Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu, pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ? Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi, hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ? mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi, saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni karena miskin. Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap orang-orang yang kesusahan. Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang sifatnya sementara. Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai. Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu, kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook, Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya ! Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni, sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu bisa kita hadiri karena berbagai alasan. Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni : perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya .. Tak menghadiri reuni sebab miskin Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku. Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku itu Fahmi. Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum sudah lama tidak bertemu. Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama " Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin " Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih. Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan kalimatnya. “ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “ “ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh. Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang. Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ... Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ? apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ? anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja, basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan. Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder. Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis : HARTA) Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh dari kesan hedonik. Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap , juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar area reuni. Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit, jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti. Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah, menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani, tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik. Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya. Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu, pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ? Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi, hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ? mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi, saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni karena miskin. Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap orang-orang yang kesusahan. Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang sifatnya sementara. Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai. Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu, kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook, Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya ! Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni, sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu bisa kita hadiri karena berbagai alasan. Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni : perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya .. Tak menghadiri reuni sebab miskin Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku. Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku itu Fahmi. Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum sudah lama tidak bertemu. Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama " Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin " Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih. Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan kalimatnya. “ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “ “ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh. Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang. Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ... Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ? apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ? anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja, basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan. Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder. Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis : HARTA) Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh dari kesan hedonik. Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap , juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar area reuni. Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit, jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti. Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah, menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani, tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik. Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya. Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu, pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ? Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi, hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ? mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi, saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni karena miskin. Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap orang-orang yang kesusahan. Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang sifatnya sementara. Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai. Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu, kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi. 1373932246177297608

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook, Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya ! Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni, sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu bisa kita hadiri karena berbagai alasan. Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni : perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya .. Tak menghadiri reuni sebab miskin Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku. Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku itu Fahmi. Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum sudah lama tidak bertemu. Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama " Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin " Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih. Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan kalimatnya. “ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “ “ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh. Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang. Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ... Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ? apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ? anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja, basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan. Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder. Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis : HARTA) Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh dari kesan hedonik. Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap , juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar area reuni. Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit, jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti. Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah, menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani, tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik. Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya. Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu, pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ? Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi, hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ? mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi, saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni karena miskin. Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap orang-orang yang kesusahan. Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang sifatnya sementara. Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai. Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu, kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi. 1373932246177297608

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook, Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya ! Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni, sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu bisa kita hadiri karena berbagai alasan. Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni : perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya .. Tak menghadiri reuni sebab miskin Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku. Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku itu Fahmi. Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum sudah lama tidak bertemu. Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama " Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin " Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih. Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan kalimatnya. “ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “ “ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh. Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang. Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ... Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ? apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ? anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja, basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan. Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder. Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis : HARTA) Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh dari kesan hedonik. Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap , juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar area reuni. Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit, jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti. Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah, menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani, tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik. Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya. Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu, pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ? Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi, hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ? mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi, saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni karena miskin. Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap orang-orang yang kesusahan. Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang sifatnya sementara. Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai. Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu, kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi. 1373932246177297608

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac

Wednesday, 13 July 2016

Menulis dan Membaca Efektif

Bagaimana menulis dan membaca yang efektif?
Saya banyak ditanya oleh sejumlah kawan soal bagaimana caranya bisa menulis tema berat dengan bahasan yang ringan, serta bagaimana caranya selalu punya ide untuk menulis. Ijinkan saya untuk berbagi di sini sedikit tips. Yang sudah jago menulis ya gak perlu ikutan membaca. Tips ini hanya untuk yang membutuhkan saja (biar saya tidak dianggap menggurui para senior dan masyayikh yang sudah lebih dulu berkecimpung dalam dunia tulis-baca). Ngapunten ....


Kawan-kawan,
Menulis itu soal gagasan, baru kemudian soal tata bahasa. Jadi menulis saja, tidak usah takut salah ejaan atau cacat redaksinya.
Jangan seperti cerita ahli bahasa yang kejeblos sumur dan masih sibuk membenarkan redaksi org yang akan menolongnya. Akhirnya tetap tinggallah ia di dalam sumur sampai ada orang yang mampu menawarkan bantuan dengan redaksi kalimat yang benar dan tepat.
Menulis itu juga soal kejujuran. Kalau mengutip makalah orang lain ya sebutkan dong sumbernya. Buat apa ahli bahasa tapi tidak jujur mengutip sumber.
Menulis itu soal pengetahuan bukan semata soal selera. Jadi kalau menguasai permasalahannya ya tulis saja. Kalau tidak paham, lalukan riset kecil-kecilan, atau kalau tidak, ya tahu dirilah untuk tidak menulis sesuatu yang tidak kita kuasai.
Satu lagi, karena tulisan itu sejatinya memaparkan gagasan, maka kalau anda tidak tahan dikritik, ya tidak usah menulis di publik. Cukup di lembar diary saja. Kalau dikritik tidak usah mencak-mencak menyerang pribadi. Itu namanya ad hominem. Fokus saja pada gagasan semula.
Dulu orang cuma menulis di koran/majalah, pada era sekarang kita bisa menulis di medsos/blog. Jadi menulislah dimanapun. Kalau dulu harus bawa pena dan kertas. Sekarang bisa menulis di hp atau tablet. Yang penting tidak usah malu atau takut disalahkan.
Dulu Arswendo bikin tips bahwa mengarang itu gampang. Tapi setelah jadi tulisannya siapa yg mau terbitkan? Sekarang menulis dan menerbitkannya gampang semua :)
Sebagai penulis beberapa buku saya fokus pada gagasan nanti ada editor bahasa yang disediakan penerbit untuk mengecek redaksi dan tata bahasanya.
Sejumlah buku saya diterbitkan penerbit internasional. Editor bahasanya lebih 'kejam' lagi. Tapi editor ya gak punya gagasan. Saya yang punya ide dan gagasan serta karya. Mereka editor bahasa dan saya author.
Kalau sebelum menulis kita sudah takut salah tata bahasa, yakinlah kita tidak akan pernah memulai menulis. Tulis dulu, redaksi belakangan saja. Jangan mau menulis yang indah atau menulis dengan kalimat majemuk yang kompleks. Menulis dengan simpel dan kalimat sederhana saja. Yang penting gagasan bisa dipahami dulu.
Lantas dari mana datangnya ide atau gagasan itu? Semakin kita banyak membaca maka semakin kita kaya dengan gagasan. Tapi bagaimana cara membaca yang baik?
Membaca itu juga soal gagasan bukan ribet soal tanda baca. Itu bedanya membaca dan mengeja.
Banyak yg pinter grammar atau nahwu sharaf tapi tidak mendalami apalagi mengkritisi gagasan dalam teks yang dibaca. Misalnya, belajar kitab kuning sampai ngelotok mengi'rab tapi kemudian tidak paham isi teks yang dibaca. Ini sekali lagi bukan membaca gagasan tapi mengeja huruf atau tanda baca.
Begitu juga yang belajar bahasa inggris sampai ngelotok paham subjek + verb tapi disodorkan koran bahasa Inggris tidak bisa mengerti satu alinea pun. Ini namanya kita belajar mengeja bukan belajar membaca.
Pengajaran tata bahasa kita selama ini dibuat ribet sehingga luput mengajarkan cara memahami gagasan dalam teks. Itu sebabnya mahasiswa yang baru kuliah di luar negeri meski skor TOEFL lolos tapi pas baca jurnal top harus membacanya berulang-ulang baru bisa paham.
Itu karena kita sibuk diajarkan tata bahasa yang rumit dan tidak diajarkan cara membaca yg kritis (critical reading).
Tahap selanjutnya tentu saja bagaimana bisa menulis dan membaca dengan cepat. Buku tebal berjilid-jilid dan paper setumpuk harus dibaca tapi waktu kita terbatas, begitu juga deadline kerjaan menerjang kita, maka kita harus terlatih membaca dan menulis dengan cepat, cermat dan kritis. Soal yang terakhir ini kapan-kapan dibahas lagi yah :)
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School