reuni/re·u·ni/ /réuni/
n pertemuan kembali (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dan sebagainya) setelah berpisah cukup lama:
Nah itu arti reuni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Munculnya jejaring sosial seperti Friendster(udah gak musim lagi yaa hehe), Facebook atau Twitter makin mempermudah kita untuk menyambung tali silaturahmi dengan teman bahkan saudara yang tidak jumpa selama belasan atau puluhan tahun. Pertemuan di dunia maya belum cukup untuk memuaskan rasa rindu maka di adakanlah ajang kopi darat.
Kebanyakan ajang reuni di ambil ketika bulan Ramadhan(buka bersama bareng) atau setelah Idul fitri(halal bihalal).
Saya sendiri juga mengalaminya loh. Saya bisa berkomunikasi dan bersilahturahmi lagi dengan teman-teman masa SD, SMP, SMA dan kuliah, bahkan reuni tempat kerja pertama, kedua, ketiga dsb dari jejaring sosial ini. malah mantan pacar pun bisa ketemu di Facebook hahaha...
Terus terang, Ph1ll1ps terang terus lohh iklann haha.... terus terang saya ketika pertama kali ada undangan untuk Reuni, saya merasa minder sekali. apalagi Reuni SD hihihi,
Flashback dulu yaa ke masa SD. Dari dulu sampai sekarang SD saya itu terkenal sebagai sekolah yang Hits dan mihil xixixi. Tapi emang sekolah saya itu banyak sekali fasilitasnya dan termasuk sekolah yang berprestasi. Dari anak pejabat anu, pengusaha x, pokoknya orang-orang berduit, menjadi teman saya waktu di SD tersebut. Saya aja kalau punya uang sebenernya pengen anak-anak saya sekolah di situ, tapi apalah daya, uangnya gak cukup hiks hiks, mudah-mudahan yang punya sekolah baca blog saya dan saya di kasih gratis untuk anak-anak saya. ngareppp hihihi.
Dan saya hiks hiks.. apalah saya ini, saya bisa sekolah disitu karena ayah saya menjadi salah pengajar di Yayasan itu. Ayah saya pernah menjadi Kepala Sekolah dan Guru di SMA nya.
Jadi ceritanya kalau anak karyawan, bisa dapet diskon begitu hehehe. kalau nggak, mungkin saya sudah di sekolahin di negeri aja yang mursidah hehehe.
Naah dulu itu kalau mau main ke rumah temen, saya tuh pasti berdecak kagum. cak cak cak cak gitu xixixix... soalnya ruman teman-teman saya gede gede banget dan bagus-bagus. ada yang luasnya 3 kali lapangan bola, ada yang mobil anter jemputnya Jeep Mercy( untung ane pernah di ajakin naek mobilnya xixix, jaman dulu loh yaaa tahun 90an), ada rumah yang tingginya mau ngalahin Burj Khalifah( nah ini bohong banget)pokoknya macem-macemlah . Tapi syukurlah semua teman di SD itu baik baik semua. kadang kalau saya nggak punya uang untuk jajan, ada beberapa temen yang suka jajanin saya. ada yang namanya Ria, Lady, Adhen..wah baik baik deh. kayaknya ngerti banget temennya ini kere hihihi. ada juga yang suka ngajakin renang. waktu itu beberapa kali di ajak ke Hotel Sandjaja. ini namanya Ira nih yang suka ngajakin renang. Bagi saya berenang di Hotel itu sesuatu yang mewaahhhhh banget. Apalagi ini di Hotel Sandjaya yang pada jamannya cuma dia yang ngetop. Sambil berenang sambil makan pempek. waduh rasa pempeknya enakk banget, secara pempek mahal hahha kita kan biasa makan pempek sepeda xixixix. jadi rasanya beda bangettt.
Nahh, balik lagi ke soal reuni, jadi ceritanya teman-teman SD ini buat grup BBM(jaman dulu masih BBM yang hits, belum WA), and buat planning untuk reuni kecil-kecilan. Waduh kebayang duong betapa cemasnya saya karena terus terang saya nggak pede dan minder sekaliii.. Ketemu temen-temen SD yang dulu terkenal tajir-tajir, hiks hiks... tapi ya sudahlah demi menyambung tali silaturahmi dan pengen liat muka-muka temen SD sekarang kayak gimana jadi di kuat-kuatin ajah.
Ternyata, setelah kita ketemuan , everything was sooo fine. Temen-temen saya nggak ada tuh yang sok pamer atau sombong(kalau saya analisa..cieee, ini di karenakan mereka emang dari bayi, dari lahir bahkan ada yang dari kakek buyutnya udah kaya jadi emang gak ada lagi yang perlu di sombongkan atau di pamerin). serius ini loh. Jadi apa yang mau dia pamerin kalau dari bayi dia udah punya semua.
Dan reuni berakhir dengan bahagia.
Tujuan dari sebuah reuni adalah untuk mengenang betapa bahagianya
ketika kita masih bersekolah,
mengenang masa bahagia ketika kita ketahuan mencontek, bolos, bahagia ketika
kita naksir dengan teman sekelas atau kakak kelas, tawuran, dan masih banyak lagi.
Disinilah tujuan utama dari sebuah reuni, untuk mengenang masa lalu
dan melepas rasa kangen terhadap teman maupun sahabat kita. Eh tapi tahu nggak jika reuni melepas rasa kangen dan mengenang masa bahagia disaat
masih sekolah dapat meringankan stress hampir 70%.
Sebuah penelitian juga pernah mengungkap manfaat dari kegiatan
kumpul-kumpul bersama teman di ajang reuni. Ternyata kegiatan santai ini
juga bisa membuat umur panjang. Sebuah penelitian bahkan pernah
menemukan bahwa seseorang yang banyak dikelilingi teman dan saudara
kemungkinannya meninggal lebih cepat berkurang 50 persen dibandingkan
mereka yang tidak memiliki kehidupan sosial.
Walaupun ada beberapa oknum yang menjadikan ajang reuni menjadi ajang pamer. Kalau saya terus terang gak ada yang bisa di pamerin. serius loh. rumah butut, status masih karyawan hihihi. Kalau kata orang Palembang: maseh menangkamu tuh lah pokoknyo...
Tulisan Italic Bold di bawah ini saya ambil dari :
http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
karena pas banget dengan tema yang saya tulis di blog, dan memang mewakili perasaan hihihi.
Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali
berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ?
apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ?
anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja,
basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan. Namun
bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi sebagian
orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara usia
semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan
keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan
pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini
mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan
memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan
menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder.
Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu
masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal
pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika
pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman
yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab
pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau
berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa
teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada
harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah
adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang
yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang
seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi
enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai.
Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni
karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari
kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang
sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya
karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu,
kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh
semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Selebihnya, tak penting lagi.
Tentu saja kami mengerti perasaanmu, perasaan tidak setara dihadapan
teman-teman yang lain. Tapi ingat, engkau tidak mengetahui apa yang
telah kami lalui dalam puluhan tahun hidup kami. Dan jika engkau
menganggap kami berhasil, kami merasa bersyukur. Namun engkau juga harus
tahu, bahwa ukuran keberhasilan dan kebahagiaan kami, bukan semata-mata
sebanyak apa harta yang kami miliki. Kami hanya ingin berteman
denganmu, selamanya
okay, sekian untuk hari ini. Tetap semangat untuk reunian yaaa hihihi. Jangan minder.... sering sering liat saya kalo minder xixixi ..gak ada hubungannya keleuss....
Gambar dari Google yaaa....
Salam,
Wita
Booming Facebook,
Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial
yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan
saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih,
mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak
berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam
hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa
kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya !
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook,
Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial
yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan
saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih,
mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak
berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam
hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa
kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya !
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook,
Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial
yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan
saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih,
mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak
berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam
hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa
kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya !
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Terbaru
Headline
Rubrik
Event
Topik Pilihan
PRO KONTRA
Masuk
HEADLINE PILIHAN
Tak Kuhadiri Reuni, Sebab Aku Miskin
16 Juli 2013 06:54:27 Diperbarui: 24 Juni 2015 10:29:45 Dibaca : 284,773
Komentar : 159 Nilai : 142
Tak Kuhadiri Reuni, Sebab Aku Miskin
1373942049286543285
Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com/JITET)
Booming Facebook, Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat
betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup
manusia. Bayangkan saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil,
mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah
puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi,
tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan,
bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia
maya !
Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni,
sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu
pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari
reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu
bisa kita hadiri karena berbagai alasan.
Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni :
perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa
lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru
biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang
sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat
kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang
tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke
masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya ..
Tak menghadiri reuni sebab miskin
Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat
obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu
seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku.
Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios
kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku
itu Fahmi.
Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat
keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara
materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana
dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang
keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum
sudah lama tidak bertemu.
Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya
menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang
akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi
hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu
memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan
kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama
" Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin "
Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih.
Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan
kalimatnya.
“ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “
“ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang
penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya
apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu
terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh.
Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan
datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak
dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang.
Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ...
Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali
berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ?
apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ?
anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja,
basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan.
Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi
sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara
usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan
keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan
pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini
mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan
memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan
menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder.
Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu
masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal
pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika
pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman
yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab
pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau
berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa
teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada
harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu.
Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis
: HARTA)
Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya
hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah
payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati
teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh
dari kesan hedonik.
Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan
sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan
minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang
reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah
sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama
di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap ,
juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran
hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar
area reuni.
Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah
teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah
teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara
duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit,
jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan
lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak
hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti.
Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan
teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah,
menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani,
tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan
dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar
dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan
juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita
yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur
karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada
manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik.
Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung
Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan
teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin
eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan
terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya
memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti
Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah
itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang
juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya.
Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu,
pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya
akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan
keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak
merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba
berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ?
Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi,
hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat
dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ?
mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka
mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi,
saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu
memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni
karena miskin.
Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial
Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya
tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi
materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang
bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan
dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap
orang-orang yang kesusahan.
Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama
sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi
terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah
teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang
sifatnya sementara.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah
adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang
yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang
seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi
enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai.
Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni
karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari
kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang
sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya
karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu,
kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh
semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman
denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi.
1373932246177297608
1373932246177297608
freewebs.com
Salam sayang,
Anni
bu anni
/pujinurani
TERVERIFIKASI
Semua artikel saya di Kompasiana dan tulisan saya lainnya, saya simpan
di http://dengarlahnuranimu.blogspot.com/
Selengkapnya...
IKUTI
Share
29207
0
2
KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI
TANGGUNGJAWAB PENULIS.
LABEL freez urban lifestyle
TANGGAPI DENGAN ARTIKEL
RESPONS : 0
NILAI : 142
Beri Nilai
Oma Eni
Menarik
Boris Toka Pelawi (Bang bo)
Inspiratif
herman daulay
Menarik
Kresno Agus Hendarto
Inspiratif
Kartika Eka H.
Menarik
Oktavianus
Inspiratif
http://sejarawan.id
Menarik
Ida Lumangge S
Menarik
Selanjutnya
KOMENTAR : 159
Boris Toka Pelawi (Bang bo)14 Juli 2016 07:59:46
semoga kita nggak jadi golongan pak fami ya.dalam arti kita semua
sukses tapi tidak membangga banggakan harta dan pencapaian kita.semoga
kehidupan sahabat ibu bisa jadi lebih baik.salam
Balas
Hummus14 Juli 2016 08:49:32
dalam realitanya walau si sukses dan si kaya tidak membanggakan
diri, tapi dlm percakapan akan muncul dengan sendirinya status
masing-masing (bisa ttg olah raga, hoby, profesi, anak dsb), sehingga si
non sukses dan non kaya akan terdiam atau mencari kelompok yg sekelas
dengan dia. Itu kalau ada....
Balas
Dede Solihin14 Juli 2016 08:20:20
kadang memang seperti itu keadaannya, tapi kalau kita belajar dan
merenung lebih dalam ini bersumber dari rasa percaya diri yang kurang
atau merasa citra diri tidak bagus. Menurut Ilmu NLP (neuro linguistic
programing) hal ini merupakan tanda-tanda dalam diri seseorang terdapat
mental block. Untuk itu perlu dikikis melalui penanaman sugesti ke dalam
diri. Mau kaya harus punya pikiran kaya. Jadi ingat kenapa kita harus
selalu berpikir positif atau ber-husnuzhon karena ini merupakan pangkal
dari suatu keberhasilan. Mohon maaf, ini juga " mungkin" yang
menyebabkan saudaranya masih belum atau tidak berhasil karena di
dalamnya masih banyak mental block. trim
Balas
Hummus13 Juli 2016 15:20:20
yg namanya reuni alamiahnya memang seperti itu. Acara yg bisa
mengaburkan status sosial, penampilan dsb nya itu hanya pesta topeng,
tapi itu jarang diadakan
Balas
Ida Lumangge S13 Juli 2016 14:17:47
Aktual, terkadang reuni menjadi ajang pamer.
Balas
Amalia Tri Agustini29 Mei 2015 00:06:46
kenapa artikel 2013 kembali tayang? apa ada kejadian khusus dibalik
pemuatan kembali artkl ini? Hemat saya : mmg harus ada yg berpihak di
sisi golongan spt Fahmi. Bagaimanapun gol itu ada... dan luka/sedih itu
ada...real. Dengan ada yg berpihak di dua sisi, kehidupan ini jadi
berimbang. Begitu....
Balas
Syifa Ann17 Juni 2016 06:49:21
Ini google trand mbak. Cara kerjanya mesin memilih artikel2 yg
punya share paling banyak di medsos dan otomatis naik tayang (lagi) di
kanal google trand :)
Balas
Eka Siswanto Pratama13 Juli 2015 09:39:48
Kenyataannya mmg seperti itu.. :)
Balas
Otoko Mae10 Juli 2015 20:53:27
Aku pernah baca ini
Balas
Amalia Tri Agustini28 Mei 2015 21:45:15
kenapa artikel 2013 kembali tayang? apa ada kejadian khusus dibalik
pemuatan kembali artkl ini? Hemat saya : mmg harus ada yg berpihak di
sisi golongan spt Fahmi. Bagaimanapun gol itu ada... dan luka/sedih itu
ada...real. Dengan ada yg berpihak di dua sisi, kehidupan ini jadi
berimbang. Begitu....
Balas
Amalia Tri Agustini28 Mei 2015 21:47:52
kenapa artikel 2013 kembali tayang? apa ada kejadian khusus dibalik
pemuatan kembali artkl ini? Hemat saya : mmg harus ada yg berpihak di
sisi golongan spt Fahmi. Bagaimanapun gol itu ada... dan luka/sedih itu
ada...real. Dengan ada yg berpihak di dua sisi, kehidupan ini jadi
berimbang. Begitu....
Balas
Amalia Tri Agustini28 Mei 2015 21:58:50
kenapa artikel 2013 kembali tayang? apa ada kejadian khusus dibalik
pemuatan kembali artkl ini? Hemat saya : mmg harus ada yg berpihak di
sisi golongan spt Fahmi. Bagaimanapun gol itu ada... dan luka/sedih itu
ada...real. Dengan ada yg berpihak di dua sisi, kehidupan ini jadi
berimbang. Begitu....
Balas
Selanjutnya
Featured Article
Belajar Bahasa Inggris Lewat Video Game
Hendra Makgawinata
06 Agustus
Headline
1
Pejabat dan Rasa Takut Hilang Kekuasaan
Ronny Noor
14 Juli 2016
2
MOS Dilarang, Kabar Baik atau Bencana?
Rusyd Al Falasifah
13 Juli 2016
3
Inilah yang Selalu Salah di Mata Jakarta
Syifa Ann
12 Juli 2016
4
Penyiksaan di Sepanjang Jalan Tol, Catatan Kecil
Sugiyanto Hadi Prayitno
13 Juli 2016
5
Fast 8, Lucas Black Gantikan Paul Walker?
Waldy
14 Juli 2016
Nilai Tertinggi
Sisi Positif dan Negatif Pokémon GO
Ikhwanul Halim
14 Juli
Doa dan Petuah Dua Wanita Super
D'kils Difa
14 Juli
Hamburg: Notes Tisu Membawaku Terbang Tinggi
kazimi yu
14 Juli
Begini Tampang Pembunuh Sadis "Si Cepat Keluar" & " Si Kingkong Bau"
Sayeed Kalba Kaif
14 Juli
Pejabat dan Rasa Takut Hilang Kekuasaan
Ronny Noor
14 Juli
Terpopuler
Begini Tampang Pembunuh Sadis "Si Cepat Keluar" & " Si Kingkong Bau"
Sayeed Kalba Kaif
14 Juli
Menkumham Yasonna Laoly, Menteri Terburuk di Kabinet Jokowi
Daniel H.T.
14 Juli
Ahok Cengeng, Fadli Zon Berang, dan Carlsen Tumbang!
Hulk2000
14 Juli
Terobesi Terus Mengkritik? Jangan Dianggap Sepele
TJIPTADINATA EFFENDI
13 Juli
Fast 8, Lucas Black Gantikan Paul Walker?
Waldy
14 Juli
Tren di Google
Tak Kuhadiri Reuni, Sebab Aku Miskin
bu anni
16 Juli 2013
Apa sih Tax Amnesty?
Reni Indah
27 April 2015
Ahok Cengeng, Fadli Zon Berang, dan Carlsen Tumbang!
Hulk2000
14 Juli 2016
SMA dan SMK Batal Dikelola Pemerintah Provinsi?
IDRIS APANDI
13 Juli 2016
Menkumham Yasonna Laoly, Menteri Terburuk di Kabinet Jokowi
Daniel H.T.
14 Juli 2016
Gres
Hal yang Perlu Diperhatikan Pra dan Pasca Operasi Gigi
christinarw
13 Juli
Narasi Separuh Jalan
Rina Tri Sulistyoningrum
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook,
Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial
yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan
saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih,
mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak
berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam
hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa
kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya !
Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni,
sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu
pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari
reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu
bisa kita hadiri karena berbagai alasan.
Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni :
perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa
lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru
biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang
sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat
kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang
tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke
masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya ..
Tak menghadiri reuni sebab miskin
Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat
obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu
seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku.
Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios
kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku
itu Fahmi.
Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat
keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara
materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana
dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang
keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum
sudah lama tidak bertemu.
Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya
menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang
akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi
hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu
memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan
kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama
" Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin "
Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih.
Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan
kalimatnya.
“ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “
“ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang
penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya
apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu
terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh.
Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan
datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak
dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang.
Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ...
Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali
berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ?
apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ?
anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja,
basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan.
Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi
sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara
usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan
keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan
pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini
mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan
memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan
menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder.
Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu
masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal
pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika
pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman
yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab
pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau
berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa
teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada
harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu.
Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis
: HARTA)
Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya
hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah
payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati
teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh
dari kesan hedonik.
Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan
sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan
minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang
reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah
sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama
di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap ,
juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran
hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar
area reuni.
Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah
teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah
teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara
duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit,
jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan
lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak
hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti.
Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan
teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah,
menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani,
tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan
dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar
dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan
juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita
yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur
karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada
manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik.
Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung
Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan
teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin
eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan
terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya
memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti
Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah
itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang
juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya.
Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu,
pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya
akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan
keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak
merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba
berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ?
Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi,
hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat
dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ?
mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka
mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi,
saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu
memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni
karena miskin.
Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial
Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya
tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi
materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang
bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan
dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap
orang-orang yang kesusahan.
Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama
sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi
terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah
teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang
sifatnya sementara.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah
adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang
yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang
seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi
enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai.
Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni
karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari
kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang
sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya
karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu,
kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh
semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman
denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook,
Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial
yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan
saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih,
mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak
berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam
hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa
kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya !
Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni,
sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu
pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari
reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu
bisa kita hadiri karena berbagai alasan.
Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni :
perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa
lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru
biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang
sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat
kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang
tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke
masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya ..
Tak menghadiri reuni sebab miskin
Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat
obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu
seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku.
Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios
kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku
itu Fahmi.
Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat
keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara
materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana
dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang
keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum
sudah lama tidak bertemu.
Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya
menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang
akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi
hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu
memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan
kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama
" Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin "
Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih.
Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan
kalimatnya.
“ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “
“ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang
penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya
apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu
terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh.
Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan
datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak
dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang.
Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ...
Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali
berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ?
apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ?
anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja,
basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan.
Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi
sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara
usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan
keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan
pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini
mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan
memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan
menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder.
Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu
masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal
pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika
pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman
yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab
pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau
berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa
teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada
harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu.
Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis
: HARTA)
Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya
hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah
payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati
teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh
dari kesan hedonik.
Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan
sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan
minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang
reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah
sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama
di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap ,
juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran
hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar
area reuni.
Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah
teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah
teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara
duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit,
jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan
lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak
hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti.
Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan
teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah,
menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani,
tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan
dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar
dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan
juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita
yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur
karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada
manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik.
Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung
Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan
teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin
eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan
terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya
memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti
Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah
itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang
juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya.
Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu,
pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya
akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan
keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak
merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba
berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ?
Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi,
hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat
dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ?
mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka
mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi,
saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu
memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni
karena miskin.
Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial
Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya
tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi
materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang
bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan
dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap
orang-orang yang kesusahan.
Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama
sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi
terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah
teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang
sifatnya sementara.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah
adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang
yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang
seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi
enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai.
Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni
karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari
kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang
sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya
karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu,
kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh
semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman
denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook,
Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial
yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan
saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih,
mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak
berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam
hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa
kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya !
Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni,
sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu
pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari
reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu
bisa kita hadiri karena berbagai alasan.
Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni :
perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa
lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru
biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang
sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat
kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang
tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke
masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya ..
Tak menghadiri reuni sebab miskin
Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat
obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu
seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku.
Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios
kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku
itu Fahmi.
Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat
keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara
materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana
dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang
keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum
sudah lama tidak bertemu.
Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya
menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang
akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi
hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu
memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan
kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama
" Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin "
Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih.
Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan
kalimatnya.
“ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “
“ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang
penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya
apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu
terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh.
Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan
datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak
dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang.
Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ...
Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali
berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ?
apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ?
anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja,
basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan.
Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi
sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara
usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan
keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan
pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini
mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan
memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan
menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder.
Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu
masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal
pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika
pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman
yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab
pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau
berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa
teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada
harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu.
Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis
: HARTA)
Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya
hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah
payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati
teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh
dari kesan hedonik.
Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan
sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan
minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang
reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah
sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama
di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap ,
juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran
hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar
area reuni.
Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah
teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah
teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara
duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit,
jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan
lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak
hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti.
Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan
teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah,
menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani,
tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan
dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar
dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan
juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita
yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur
karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada
manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik.
Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung
Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan
teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin
eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan
terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya
memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti
Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah
itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang
juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya.
Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu,
pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya
akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan
keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak
merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba
berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ?
Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi,
hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat
dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ?
mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka
mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi,
saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu
memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni
karena miskin.
Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial
Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya
tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi
materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang
bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan
dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap
orang-orang yang kesusahan.
Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama
sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi
terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah
teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang
sifatnya sementara.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah
adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang
yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang
seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi
enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai.
Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni
karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari
kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang
sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya
karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu,
kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh
semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman
denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi.
1373932246177297608
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook,
Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial
yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan
saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih,
mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak
berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam
hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa
kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya !
Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni,
sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu
pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari
reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu
bisa kita hadiri karena berbagai alasan.
Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni :
perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa
lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru
biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang
sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat
kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang
tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke
masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya ..
Tak menghadiri reuni sebab miskin
Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat
obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu
seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku.
Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios
kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku
itu Fahmi.
Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat
keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara
materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana
dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang
keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum
sudah lama tidak bertemu.
Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya
menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang
akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi
hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu
memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan
kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama
" Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin "
Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih.
Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan
kalimatnya.
“ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “
“ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang
penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya
apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu
terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh.
Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan
datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak
dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang.
Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ...
Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali
berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ?
apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ?
anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja,
basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan.
Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi
sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara
usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan
keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan
pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini
mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan
memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan
menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder.
Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu
masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal
pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika
pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman
yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab
pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau
berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa
teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada
harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu.
Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis
: HARTA)
Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya
hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah
payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati
teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh
dari kesan hedonik.
Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan
sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan
minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang
reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah
sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama
di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap ,
juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran
hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar
area reuni.
Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah
teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah
teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara
duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit,
jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan
lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak
hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti.
Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan
teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah,
menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani,
tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan
dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar
dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan
juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita
yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur
karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada
manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik.
Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung
Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan
teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin
eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan
terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya
memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti
Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah
itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang
juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya.
Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu,
pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya
akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan
keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak
merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba
berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ?
Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi,
hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat
dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ?
mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka
mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi,
saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu
memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni
karena miskin.
Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial
Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya
tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi
materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang
bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan
dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap
orang-orang yang kesusahan.
Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama
sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi
terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah
teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang
sifatnya sementara.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah
adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang
yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang
seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi
enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai.
Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni
karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari
kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang
sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya
karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu,
kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh
semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman
denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi.
1373932246177297608
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac
Booming Facebook,
Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial
yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan
saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih,
mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak
berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam
hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa
kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya !
Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni,
sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu
pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari
reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu
bisa kita hadiri karena berbagai alasan.
Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni :
perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa
lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru
biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang
sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat
kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang
tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke
masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya ..
Tak menghadiri reuni sebab miskin
Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat
obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu
seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku.
Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios
kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku
itu Fahmi.
Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat
keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara
materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana
dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang
keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum
sudah lama tidak bertemu.
Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya
menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang
akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi
hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu
memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan
kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama
" Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin "
Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih.
Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan
kalimatnya.
“ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “
“ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang
penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya
apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu
terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh.
Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan
datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak
dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang.
Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ...
Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali
berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ?
apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ?
anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja,
basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan.
Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi
sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara
usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan
keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan
pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini
mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan
memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan
menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder.
Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu
masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal
pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika
pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman
yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab
pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau
berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa
teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada
harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu.
Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis
: HARTA)
Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya
hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah
payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati
teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh
dari kesan hedonik.
Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan
sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan
minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang
reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah
sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama
di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap ,
juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran
hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar
area reuni.
Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah
teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah
teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara
duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit,
jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan
lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak
hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti.
Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan
teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah,
menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani,
tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan
dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar
dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan
juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita
yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur
karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada
manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik.
Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung
Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan
teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin
eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan
terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya
memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti
Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah
itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang
juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya.
Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu,
pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya
akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan
keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak
merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba
berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ?
Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi,
hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat
dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ?
mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka
mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi,
saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu
memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni
karena miskin.
Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial
Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya
tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi
materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang
bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan
dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap
orang-orang yang kesusahan.
Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama
sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi
terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah
teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang
sifatnya sementara.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah
adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang
yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang
seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi
enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai.
Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni
karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari
kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang
sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya
karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu,
kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh
semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman
denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi.
1373932246177297608
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pujinurani/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin_5520886fa33311b24646cfac